Buah Campedak




 Siapa yang tidak kenal dengan buah yang satu ini, bau harumnya sangat kuat mirip sekali dengan harum durian, bentuk dan rupanya sama dan mirip sekali dengan buah nangka, cuma bentuknya lebih kecil dari buah nangka, di kampung saya buah ini namanya Campedak.

Daging buah Campedak berwarna kuning dan rasanya sangat manis, jika dibelah kulitnya maka daging buahnya akan menempel dibatang dalam, sehingga tidak usah repor-repot untuk memisahkan buah dengan kulitnya, itulah kelebihan campedak mudah untuk di konsumsi. Tidak seperti buah nangka daging buahnya yang menempel di kulitnya sehingga lumayan repot untuk memisahkannya.

Semua dari bentuk luar dan dalam buahnya mirip sekali dengan buah nangka, tidak ada satupun yang berbeda. Daging buah campedak bisa dimakan langsung atau di olah menjadi camilan lainnya seperti, gorengan, kolak, bijinya untuk sayur bening atau disemurdan di olah jadi makanan lainnya, dengan berbagai aneka kesukaan dan olahan.


Seperti sekarang Bulan Januari musim campedak lagi panen, dipinggir jalan banyak sekali dijajakan buah campedak, harganya mulai dari 7 ribu sampai dengan 15 ribu. Jaman baheula buah campedak belum sangat familiar dimasyarakat dan masih sangat jarang yang menjualnya, tetapi untuk sekarang ini buah campedak sudah mulai dikenal oleh masyarakat luas dan sepanjang jalan raya sudah mulai ramai yang menjual buahnya.  

Peminat campedak sekarang ini sudah banyak dan sudah mulai di buru oleh penghobi buah-buahan, walaupun buahnya tidak se tenar durian, tetapi mudah-mudahan kedepannya buah ini bisa menjadi buah yang diburu oleh banyak orang, sehingga bisa meningkatkan ekonomi para petani dan pemilik kebun campedak.

Mbah Klitik




Makam Mbah Klitik / Raden Aryo Wiryo Damar

Bumijawa, Tegal-JawaTengah, 30 Desember 2018.
Untuk sumber cerita saya copas dari pihak ketiga, karena keterbatasan informasi yang saya dapatkan.

Pada zaman dulu sekitar tahun 1767 tersebutlah seorang bangsawan dari Keraton Demak Bintoro, bernama Raden Aryo Wiryo yang merasa jenuh dengan keadaan, kehidupan keraton yang seringkali terjadi konflik perang saudara dan persaingan perebutan tahta di antara sesama saudara dalam lingkup keraton. Keadaan itu membuat Raden Aryo Wiryo merasa jenuh dan berniat meninggalkan keraton.

Akhirnya dia berangkat meninggalkan keraton dengan mengajak istrinya yang kemudian dikenal dengan Nyai Tumbu, selang beberapa tahun kemudian dia sempat mengabdi di Keraton Mataram pada zaman kejayaan Sultan Agung Hanyorokusumo kemudian dia sempat pula ditugaskan oleh Sultan Agung untuk berangkat ke Cirebon pada masa itu.
 
Menuju Makam Kyai Klitik


Kemudian dia kembali mengembara hingga sampai di lereng Gunung Slamet sebelah utara dan dia menetap di daerah tersebut . Dia orang pertama yang membuka lahan perkampungan di tempat itu sampai banyak orang berdatangan ke daerah itu untuk berguru kepada Raden Aryo Wiryo dan akhirnya menetap di daerah tersebut. Oleh karenanya Raden Aryo Wiryo memeberi nama tempat itu “ Kampung Keputihan “, (daerah yang masih asli tak terjamah peradaban agama selain Islam).

Suatu saat datanglah pengembara dari Pesantren Gunungjati yang merupakan santri Syech Syarif Hidayatulloh. Sunan Gunungjati bernama Kyai Elang Sutajaya bermaksud menyebarkan agama Islam dan kemudian Raden Aryo Wiryo dan pengikutnya berkenan mendalami ajaran agama islam untuk lebih memantapkan keimanan para pengikutnya.

Pada saat itu kampung keputihan sedang dilanda wabah pageblug seperti banyak tanah longsor dan penyakit gatal – gatal (gudigen, bahasa setempat)sehingga Kyai Elang Sutajaya mengajak Raden Aryo Wiryo dan warganya untuk berdoa kepada Alllah SWT dengan ritual yang sekarang dikenal sebagai ruwat bumi dengan menyembelih kambing Kendit dan menyajikan hasil bumi seperti Pala Pendem dan sayur mayur yang akan disedekahkan kepada fakir miskin. Acara ritual tersebut terjadi pada bulan Asyuro atau bulan Mukharom dan turun temurun sampai sekarang.
 
Gapura Area Pemakaman
Pada saat berdoa dengan tasyakuran Tahlilan dan Manaqib kala itu, Kanjeng Sunan Gunungjati berkenan hadir secara ghoib dan memeberikan sebuah guci sakti yang sudah diisi dengan do’a Kanjeng Sunan agar penduduk Kampung Keputihan yang terjangkit wabah gatal segera meminum air guci tersebut dan pojok – pojok Kampung Keputihan agar dipercikkan air guci tersebut untuk menghilangkan kerusakan akibat bencana alam. Sehingga pada saat Radenn Aryo Wiryo berkeliling bersama Kyai Elang Sutajaya dia menemukan sumber mata air panas dibawah sebuah Gua yang sekarang terkenal dengan nama Pancuran 13.

Adapun guci sakti tersebut ditempatkan di sebuah dukuh tempat Raden Aryo Wiryo biasa semadi, daerah tersebut sekarang dikenal dengan nama Telaga Ada di Dukuh Engang Desa Guci, sehingga karena kekeramatan guci tersebut maka Kampung Keputihan dapat pulih kembali, bebas dari pageblug. Untuk mengenang peristiwa tersebut maka Kampung Keputihan diubah namanya menajadi Desa Guci. Adapun guci sakti tersebut sekarang ada di Museum Nasional karena pada zaman Adipati Cokroningrat dari Brebes memindahkannya dari Desa Guci ke pendopo Kadipaten Brebes yang kala itu Desa Guci adalah bagian dari Kabupaten Brebes.
 
Alam sekitar Pemakaman
Untuk lebih membaur dengan warga, Raden Aryo Wiryo menggunakan nama samaran yaitu Kyai Ageng Klitik atau untuk lebih akrab dengan sebutan Kyai Klitik. Selain itu penyamaran tersebut juga mengandung maksud lain, sebab keturunan darah biru atau bangsawan dari keraton banyak yang diburu penjajah Belanda . Sampai sekarang tidak diketahui maksud dan asal muasal makna yang sesungguhnya, dia juga menemukan tuk atau mata air panas lain yang sekarang terkenal dengan Pemandian Kasepuhan dan Pemandian Pengasihan yang berkasiat untuk sababiyah berbagai penyakit kulit dan tulang dan sarana mengabulkan khajat tertentu bagi yang meyakininya. Konon kabarnya Pemandian tersebut adalah tempat untuk penjamasan atau memandikan keris Kyai Klitik agar pamornya menjadi sepuh sehingga tempat

Setelah Desa Guci semakin ramai maka datanglah seorang pengembara bernama Mbah Segeong dan bertapa di dalam Gua, yang sekarang terkenal dengan Gua Segeong terletak di sebelah selatan Pos I Retribusi sekitar 350 m jaraknya. Pada saat Kyai Elang Sutajaya mensyiarkan agama islam dia sering melakukan semadi di atas sebuah bukit. Di sekitar tempat itu banyak terdapat hewan badak ( warak, dalam bahasa jawa ), maka Kyai Elang Sutajaya menyebutnya dengan Kandang Warak yang sekarang nama tersebut digunakan sebagai nama sebuah dukuh di sebelah timur Desa Guci yaitu Dukuh Pekandangan.

Data ini bersumber dari Babad Tanah Jawa dan penuturan leluhur dari keturunan Raden Patah.

Sumber cerita : WIKIPEDIA
Fhoto : koleksi pribadi