Makam Prabu Geusan Ulun
Komplek pemakaman Prabu Geusan Ulun
berada di Dayeuh Luhur di atas gunung rengganis kota Sumedang, di
komplek ini dimakamkan juga istri dari sang Prabu, yaitu Ratu
Harisbaya dan putera nya Raden Rangga Gempol I, dan tempat muksa
Eyang Jaya Perkosa .
Tempat muksa Eyang Jaya Perkosa
Hingga saat ini komplek
pemakaman Prabu Geusan Ulun selalu ramai didatangi para peziarah dari
luar kota Sumedang, para peziarah datang untuk mendoakan arwah sang
Prabu. Dayeuh Luhur menjadi salah satu tujuan objek wisata religi
umat muslim, melainkan tempatnya diatas gunung dan dari nilai
historis perjuangannya menjadi daya tarik para pengunjung, para
pengunjung bisa menikmati alam sekitar yang sangat memukau dan indah
dengan alam pegunungannya.
Sejarah Prabu
Geusan Ulun
Prabu Agung Resi Cakrabuana atau lebih dikenal
Prabu
Tajimalela dianggap sebagai pokok berdirinya Kerajaan Sumedang.
Pada awal berdiri bernama
Kerajaan Tembong Agung dengan
ibukota di
Leuwihideung (sekarang Kecamatan Darmaraja). Ia
punya tiga putra yaitu
Prabu Lembu Agung, Prabu Gajah Agung,
dan
Sunan Geusan Ulun.
Berdasarkan Layang Darmaraja, Prabu Tajimalela memberi perintah
kepada kedua putranya (Prabu Lembu Agung dan Prabu Gajah Agung), yang
satu menjadi raja dan yang lain menjadi wakilnya (patih). Tapi
keduanya tidak bersedia menjadi raja. Oleh karena itu, Prabu
Tajimalela memberi ujian kepada kedua putranya jika kalah harus
menjadi raja. Kedua putranya diperintahkan pergi ke Gunung Nurmala
(sekarang Gunung Sangkanjaya). Keduanya diberi perintah harus menjaga
sebilah pedang dan kelapa muda (duwegan/degan). Tetapi, Prabu Gajah
Agung karena sangat kehausan beliau membelah dan meminum air kelapa
muda tersebut sehingga beliau dinyatakan kalah dan harus menjadi raja
Kerajaan Sumedang Larang tetapi wilayah ibu kota harus mencari
sendiri. Sedangkan Prabu Lembu Agung tetap di Leuwihideung, menjadi
raja sementara yang biasa disebut juga Prabu Lembu Peteng Aji untuk
sekedar memenuhi wasiat Prabu Tajimalela. Setelah itu Kerajaan
Sumedang Larang diserahkan kepada Prabu Gajah Agung dan Prabu Lembu
Agung menjadi resi. Prabu Lembu Agung dan para keturunannya tetap
berada di Darmaraja. Sedangkan Sunan Geusan Ulun dan keturunannya
tersebar di Limbangan, Karawang, dan Brebes.
Setelah Prabu Gajah Agung menjadi raja maka kerajaan dipindahkan
ke Ciguling. Ia dimakamkan di Cicanting Kecamatan Darmaraja. Ia
mempunyai dua orang putra, pertama
Ratu Istri Rajamantri,
menikah dengan Prabu Siliwangi dan mengikuti suaminya pindah ke
Pakuan Pajajaran. Kedua
Sunan Guling, yang melanjutkan menjadi
raja di Kerajaan Sumedang Larang. Setelah Sunan Guling meninggal
kemudian dilanjutkan oleh putra tunggalnya yaitu
Sunan Tuakan.
Setelah itu kerajaan dipimpin oleh putrinya yaitu
Nyi Mas Ratu
Patuakan. Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai suami yaitu
Sunan
Corenda, putra Sunan Parung, cucu Prabu Siliwangi (Prabu Ratu
Dewata). Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai seorang putri bernama
Nyi
Mas Ratu Inten Dewata (1530-1578), yang setelah ia meninggal
menggantikannya menjadi ratu dengan gelar
Ratu Pucuk Umun.
Ratu Pucuk Umun menikah dengan
Pangeran Kusumahdinata,
putra Pangeran Pamalekaran (Dipati Teterung), putra Aria Damar Sultan
Palembang keturunan Majapahit. Ibunya Ratu Martasari/Nyi Mas
Ranggawulung, keturunan Sunan Gunung Jati dari Cirebon.
Pangeran
Kusumahdinata lebih dikenal dengan julukan
Pangeran Santri
karena asalnya yang dari pesantren dan perilakunya yang sangat alim.
Dengan pernikahan tersebut berakhirlah masa kerajaan Hindu di
Sumedang Larang. Sejak itulah mulai menyebarnya agama Islam di
wilayah Sumedang Larang.
Ratu Pucuk Umun dan Pangeran Santri
Pada pertengahan abad ke-16, mulailah corak agama Islam mewarnai
perkembangan Sumedang Larang. Ratu Pucuk Umun, seorang wanita
keturunan raja-raja Sumedang Larang kuno yang merupakan seorang Sunda
muslimah; meni
kahi
Pangeran
Santri
(1505-1579 M) yang bergelar Ki
Gedeng Sumedang
dan memerintah Sumedang Larang bersama-sama serta menyebarkan ajaran
Islam di wilayah tersebut. Pangeran Santri adalah cucu dari Syekh
Maulana Abdurahman (Sunan Panjunan) dan cicit dari Syekh
Datuk Kahfi,
seorang ulama keturunan Arab Hadramaut yang berasal dari Mekkah dan
menyebarkan agama Islam di berbagai penjuru daerah di kerajaan Sunda.
Pernikahan Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun ini melahirkan Prabu
Geusan Ulun
atau dikenal dengan Prabu
Angkawijaya.
Pada masa Ratu Pucuk Umun, ibukota Kerajaan Sumedang Larang
dipindahkan dari Ciguling ke Kutamaya.
Dari
pernikahan Ratu Pucuk Umun dengan Pangeran Santri memiliki
enam orang anak, yaitu :
Pangeran Angkawijaya (yang
terkenal dengan gelar Prabu Geusan Ulun)
Kiyai Rangga Haji, yang
mengalahkan Aria Kuda Panjalu ti Narimbang, supaya memeluk agama
Islam.
Kiyai Demang Watang di Walakung.
Santowaan Wirakusumah, yang
keturunannya berada di Pagaden dan Pamanukan, Subang.
Santowaan Cikeruh.
- Santowaan Awiluar.
Ratu Pucuk Umun dimakamkan di Gunung Ciung Pasarean Gede di Kota
Sumedang.
Prabu Geusan Ulun
Prabu Geusan Ulun (1580-1608 M) dinobatkan untuk menggantikan
kekuasaan ayahnya, Pangeran Santri. Ia menetapkan Kutamaya sebagai
ibukota kerajaan Sumedang Larang, yang letaknya di bagian Barat kota.
Wilayah kekuasaannya meliputi Kuningan, Bandung, Garut, Tasik,
Sukabumi (Priangan) kecuali Galuh (Ciamis). Kerajaan Sumedang Larang
pada masa Prabu Geusan Ulun mengalami kemajuan yang pesat di bidang
sosial, budaya, agama, militer dan politik pemerintahan. Setelah
wafat pada tahun 1608, putera angkatnya, Pangeran Dipati Rangga
Gempol Kusumadinata atau Rangga Gempol I, yang dikenal dengan nama
Raden Aria Suradiwangsa menggantikan kepemimpinannya.
Pada masa awal pemerintahan Prabu Geusan Ulun, Kerajaan Pajajaran
Galuh Pakuan sedang dalam masa kehancurannya karena diserang oleh
Kerajaan Banten yang dipimpin Sultan Maulana Yusuf dalam rangka
menyebarkan Agama Islam. Oleh karena penyerangan itu Kerajaan
Pajajaran hancur. Pada saat-saat kekalahan Kerajaan Pajajaran, Prabu
Siliwangi sebelum meninggalkan Keraton beliau mengutus empat prajurit
pilihan tangan kanan Prabu Siliwangi untuk pergi ke Kerajaan Sumedang
Larang dengan rakyat Pajajaran untuk mencari perlindungan yang
disebut Kandaga Lante. Kandaga Lante tersebut menyerahkan mahkota
emas simbol kekuasaan Raja Pajajaran, kalung bersusun dua dan tiga,
serta perhiasan lainnya seperti benten, siger, tampekan, dan kilat
bahu (pusaka tersebut masih tersimpan di Museum Prabu Geusan Ulun di
Sumedang). Kandaga Lante yang menyerahkan tersebut empat orang yaitu
Sanghyang Hawu atau Embah Jayaperkosa, Batara Dipati Wiradijaya atau
Embah Nangganan, Sanghyang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana atau
Embah Terong Peot.
Walaupun pada waktu itu tempat penobatan raja direbut oleh pasukan
Banten (wadyabala Banten) tetapi mahkota kerajaan terselamatkan.
Dengan diberikannya mahkota tersebut kepada Prabu Geusan Ulun, maka
dapat dianggap bahwa Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan menjadi bagian
Kerajaan Sumedang Larang, sehingga wilayah Kerajaan Sumedang Larang
menjadi luas. Batas wilayah baratnya Sungai Cisadane, batas wilayah
timurnya Sungai Cipamali (kecuali Cirebon dan Jayakarta), batas
sebelah utaranya Laut Jawa, dan batas sebelah selatannya Samudera
Hindia.
Secara politik Kerajaan Sumedang Larang didesak oleh tiga musuh:
yaitu Kerajaan Banten yang merasa terhina dan tidak menerima dengan
pengangkatan Prabu Geusan Ulun sebagai pengganti Prabu Siliwangi;
pasukan VOC di Jayakarta yang selalu mengganggu rakyat; dan
Kesultanan Cirebon yang ditakutkan bergabung dengan Kesultanan
Banten. Pada masa itu Kesultanan Mataram sedang pada masa
kejayaannya, banyak kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara yang
menyatakan bergabung kepada Mataram. Dengan tujuan politik pula
akhirnya Prabu Geusan Ulun menyatakan bergabung dengan Kesultanan
Mataram dan beliau pergi ke Demak dengan tujuan untuk mendalami agama
Islam dengan diiringi empat prajurit setianya (Kandaga Lante).
Setelah dari pesantren di Demak, sebelum pulang ke Sumedang Larang ia
mampir ke Cirebon untuk bertemu dengan
Panembahan Ratu
penguasa Cirebon, dan disambut dengan gembira karena mereka berdua
sama-sama keturunan Sunan Gunung Jati.
Dengan sikap dan perilakunya yang sangat baik serta wajahnya yang
rupawan, Prabu Geusan Ulun disenangi oleh penduduk di Cirebon.
Permaisuri Panembahan Ratu yang bernama
Ratu Harisbaya jatuh
cinta kepada Prabu Geusan Ulun. Ketika dalam perjalanan pulang
ternyata tanpa sepengetahuannya, Ratu Harisbaya ikut dalam rombongan,
dan karena Ratu Harisbaya mengancam akan bunuh diri akhirnya dibawa
pulang ke Sumedang Larang. Karena kejadian itu, Panembahan Ratu marah
besar dan mengirim pasukan untuk merebut kembali Ratu Harisbaya
sehingga terjadi perang antara Cirebon dan Sumedang Larang.
Akhirnya
Sultan Agung dari Mataram meminta kepada
Panembahan Ratu untuk berdamai dan menceraikan Ratu Harisbaya yang
aslinya dari Pajang-Demak dan dinikahkan oleh Sultan Agung dengan
Panembahan Ratu. Panembahan Ratu bersedia dengan syarat Sumedang
Larang menyerahkan wilayah sebelah barat Sungai Cilutung (sekarang
Majalengka) untuk menjadi wilayah Cirebon. Karena peperangan itu pula
ibukota dipindahkan ke Gunung Rengganis, yang sekarang disebut Dayeuh
Luhur.
Prabu Geusan Ulun memiliki tiga orang istri: yang pertama Nyi Mas
Cukang Gedeng Waru, putri Sunan Pada; yang kedua Ratu Harisbaya dari
Cirebon, dan yang ketiga Nyi Mas Pasarean. Dari ketiga istrinya
tersebut ia memiliki lima belas orang anak:
Pangeran Rangga Gede, yang
merupakan cikal bakal bupati Sumedang
Raden Aria Wirareja, di
Lemahbeureum, Darmawangi
Kiyai Kadu Rangga Gede
Kiyai Rangga Patra Kalasa, di
Cundukkayu
Raden Aria Rangga Pati, di
Haurkuning
Raden Ngabehi Watang
Nyi Mas Demang Cipaku
Raden Ngabehi Martayuda, di Ciawi
Rd. Rangga Wiratama, di Cibeureum
Rd. Rangga Nitinagara, di Pagaden
dan Pamanukan
Nyi Mas Rangga Pamade
Nyi Mas Dipati Ukur, di Bandung
Rd. Suriadiwangsa, putra Ratu
Harisbaya dari Panembahan Ratu
Pangeran Tumenggung Tegalkalong
- Rd. Kiyai Demang Cipaku, di Dayeuh Luhur.
Prabu Geusan Ulun merupakan raja terakhir Kerajaan Sumedang
Larang, karena selanjutnya menjadi bagian Mataram dan pangkat raja
turun menjadi adipati (bupati).
Pemerintahan
di bawah Mataram
Dipati Rangga
Gempol
Pada saat Rangga Gempol memegang kepemimpinan, pada tahun 1620 M
Sumedang Larang dijadikannya wilayah kekuasaan
Kerajaan
Mataram di bawah
Sultan
Agung,
dan statusnya sebagai 'kerajaan' diubahnya menjadi 'kabupatian
wedana'. Hal ini dilakukannya sebagai upaya menjadikan wilayah
Sumedang sebagai wilayah pertahanan Mataram dari seranga
n
Kerajaan
Banten
dan Belanda,
yang sedang mengalami konflik dengan Mataram. Sultan Agung kemudian
memberikan perintah kepada Rangga Gempol beserta pasukannya untuk
memimpin penyerangan ke Sampang,
Madura.
Sedangkan pemerintahan untuk sementara diserahkan kepada adiknya,
Dipati Rangga Gede.
Dipati Rangga
Gede
Ketika setengah kekuatan militer kadipaten Sumedang Larang
diperintahkan pergi ke Madura atas titah Sultan Agung, datanglah dari
pasukan Kerajaan Banten untuk menyerbu. Karena Rangga Gede tidak
mampu menahan serangan pasukan Banten, ia akhirnya melarikan diri.
Kekalahan ini membuat marah Sultan Agung sehingga ia menahan Dipati
Rangga Gede, dan pemerintahan selanjutnya diserahkan kepada Dipati
Ukur.
Dipati Ukur
Tanggal 12 Juli 1628, datang utusan Mataram ke Timbanganten (Tatar
Ukur). Membawa surat tugas dari Sultan Agung, untuk memerintahkan
Adipati Wangsanata atau disebut juga Wangsataruna alias Dipati Ukur,
untuk memimpin pasukannya dan menyerbu VOC di Batavia membantu
pasukan dari Jawa. Waktu itu bulan Oktober tahun 1628. Dalam surat
tersebut ada semacam perjanjian bahwa pasukan Sunda harus menunggu
Pasukan Jawa di Karawang sebelum nantinya bersama-sama menyerang
Batavia. Tapi, setelah seminggu ditunggu ternyata pasukan dari Jawa
tak juga kunjung datang sementara logistic makin menipis. Karena
logistic yang kian menipis dan takut kalau mental prajurit keburu
turun maka Dipati Ukur pun memutuskan untuk terlebih dahulu pergi ke
Batavia menggempur VOC sambil menunggu bantuan pasukan dari Jawa.
Baru dua hari Pasukan Sunda yang dipimpin oleh Dipati Ukur
berperang melawan VOC, pasukan Jawa datang ke Karawang dan mendapati
bahwa Pasukan Sunda tak ada di sana.
Tersinggung karena merasa tak
dihargai, bukannya membantu pasukan Sunda yang sedang mati-matian
menggempur VOC pasukan Jawa ini malah memusuhi Pasukan Sunda.
Ditengah kekalutan itu, datang utusan dari Dayeuh Ukur membawa
surat dari Enden Saribanon yang merupakan istri dari Dipati Ukur yang
mengabarkan bahwa para gadis, istri-istri prajurit dan bahkan dirinya
sendiri pun hampir diperkosa oleh panglima utusan Mataram dan
pasukannya. Panglima dari Mataram itu sendiri ada di Dayeuh Ukur
dalam rangka mengantarkan surat dari Sultan Agung dan begitu
mendengar bahwa Dipati Ukur tak mengindahkan pesan dari Sultan Agung
untuk menunggu pasukan Jawa di Karawang,
para panglima ini
kemudian melampiaskan kemarahannya dengan memperkosa gadis-gadis dan
juga merampas harta benda mereka.
Mendengar kabar itu, Dipati Ukur yang sedang berperang memutuskan
untuk menghentikan perang dan kembali ke Pabuntelan (Paseurdayeuh
Tatar Ukur, atau Baleendah - Dayeuhkolot sekarang).
Dipati Ukur
yang marah dengan kelakuan para utusan Mataram itu sesampainya di
Pabuntelan langsung menghabisi para utusan Mataram itu.
Sayangnya, dari semua utusan itu ada satu orang yang lolos dari
kematian dan kemudian melapor kepada Sultan Agung perihal apa yang
dilakukan oleh Dipati Ukur terhadap teman-temannya.
Dalam ‘Negara Kerta Bhumi’ disebutkan bahwa salah satu
watak Sultan Agung adalah jika memberi tugas kepada bawahannya itu
tidaklah boleh gagal. Jika gagal maka sudah dipastikan bahwa yang
bersangkutan akan dihukum mati. Maka, panglima Mataram yang lolos ini
pun agar terhindar dari hukuman mati mengaranglah ia tentang kenapa
pasukan Mataram bisa gagal menaklukan VOC. Semua kesalahan itu
ditimpakan ke pundak Dipati Ukur. Sultan Agung pun murka karena
bagaimana pun juga mundurnya Dipati Ukur dari medan perang merupakan
kerugian besar bagi Mataram. Intinya, penyebab kalahnya Mataram
adalah karena mundurnya Dipati Ukur. Oleh karenanya, Dipati Ukur
dicap penghianat dan mau memberontak kepada Mataram. Jadi, karena
Dipati Ukur dianggap memberontak maka Dipati Ukur pun oleh Sultan
Agung pantas dihukum mati. Akhirnya Sultan Agung pun menyuruh Cirebon
untuk menangkap Dipati Ukur hidup atau mati. Penumpasan Dipati Ukur
itu dipimpin langsung oleh Tumenggung Narapaksa dari Mataram.
Dari kenyatan itu, Dipati Ukur kemudian sadar bahwa dirinya sejak
sekarang harus menghadapi Mataram. Kekuatan pun di susun. Dipati Ukur
mulai melobi beberapa bupati untuk juga melawan Mataram dan menjadi
kabupaten yang mandiri. Ajakan ini menimbulkan pro dan kontra.
Sebagian ada yang setuju seperti Bupati Karawang, Ciasem,
Sagalaherang, Taraju, Sumedang, Pamanukan, Limbangan, Malangbong dan
sebagainya. Dan sebagian laginya tidak setuju. Di antara yang tidak
setuju itu adalah Ki Somahita dari Sindangkasih, Ki Astamanggala dari
Cihaurbeuti, dan Ki Wirawangsa dari Sukakerta.
Belum juga Dipati Ukur berhasil mewujudkan impiannya untuk
mendirikan kabupaten mandiri yang lepas dari kekuasan Mataram
tiba-tiba Bagus Sutapura, salah satu pemuda yang sakti mandraguna
(putra dari bupati Kawasen, wilayah Galuh) yang merupakan algojo yang
dimintai tolong oleh Tumenggung Narapaksa keburu datang untuk
menangkapnya. Terjadilah pertarungan sengit antar keduanya
(dikabarkan hingga 40 hari 40 malam). Setelah semua tenaga terkuras
akhirnya Dipati Ukur pun dapat diringkus kemudian dibawa ke Cirebon
untuk diserahkan ke Mataram. Dipati Ukur pun akhirnya di hukum mati
di alun-alun Mataram dengan cara dipenggal kepalanya. Sepeninggal
Dipati Ukur wafat, kekuasan Mataram di tatar Sunda pun kian kukuh.
Bahkan di wilayah pesisir utara, banyak pasukan Mataram yang tak
kembali lagi ke Mataram dan lebih memilih memperistri penduduk
setempat. Untuk memenuhi kebutuhan hidup para prajurit ini kemudian
banyak yang membuka lahan sawah terutama di daerah Karawang, berbeda
dengan kebiasaan masyarakat Sunda waktu itu yang umumnya berkebun.
Mungkin, inilah yang pada akhirnya sampai sekarang Karawang terkenal
dengan sawahnya dan menjadi salah satu lumbung padi di Jawa Barat.
Sumber: