Rd. Kj Arya Wiratanudatar bin Rd. Kj.
Arya Wangsagoparana atau dalem Cikundul adalah bupati pertama Cianjur
sekaligus seorang ulama penyebar agama Islam di periode 1677-1691,
pemakamannya terletak di Kp.Cijagang Ds.Majalaya Kec.Cikalong Kulon
Kab. Cianjur.
Makamnya terletak diatas bukit Cijagang
Kp, Majalaya. Dikejauhanpun akan nampak terlihat makam seorang ulama
besar ini dengan jelas, untuk menuju lokasi makam harus melewati anak
tangga yang lumayan panjang menuju ke atas bukit Cijagang. Makam ini
tidak pernah sepi dari para pengunjung yang datang dari berbagai
luar daerah, yang hendak berziarah ataupun hanya sekedar ingin
melihat makam seorang pahlawan dari Cianjur ini.
makam Raden Arya
Wiratanudatar
Sejarah kehidupan :
Baik dalam ''tutungkusan''
(dongeng)sejarah maupun cerita rakyat mengenai keberadaannya leluhur
kita. Untuk menentukan batas-batas titi mangsa dimulai dengan
runtuhnya kerajaan talaga (Galuh) pada tahun 1529 M yang kemudian
dibawah kekuasaan Sinuhun Cirebon Kanjeng Syarief Hidayatullah, yaitu
cucunda dari Prabu Siliwangi yang telah mangkat pada dasawarsa kedua
abad 16 M selanjutnya''srada'' di Rancamaya. Dinyatakan bahwa Hyang
Maha Prabu Siliwangi telah lepas tanggung jawab.
Peristiwa ini besar sekali pengaruhnya
kepada siasah kenegaraan Kesulatanan Cirebon, terutama yang
menyangkut kepada Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Jatipurba
Panatagama Auliya Sayyidina Rasulillahi SAW.
Tidak bisa dipungkiri bahwa semula
Cirebon memang termasuk ke dalam wilyah kekuasaan Pajajaran yang
ketika itu dibawah naungan kerajaan Pajajaran, Prabu Siliwangi kakek
Kanjeng Sunan Gunung Jati Sendiri. Bisa saja satu pihak menyatakan
bahwa pada tahun 1525 M Pajajaran telah bubar sebab pada ketika itu
Cirebon telah menghentikan upeti kepada Pakuan, di lihat dari sudut
akal yang sehat bisa saja peristiwa ini tindakan seorang cucu yang
sama sekali tidak mengindahkan tatakrama kenegaraan yang layak
terhadap kakenya sendiri, suatu tindakan pemberontakan atau
pembangkangan kepada pucuk pimpinam kerajaan, namun dilain pihak
tindakan tersebut perlu dilakukan demi kebutuhan adanya suatu negeri
sendiri yang merdeka dan mandiri sebagai pangkal pijakan bagi
penyebaran agama islam.
Sementara itu terjadilah peperangan
hebat antara pasukan Talaga dipimpin langsung oleh Senopati Pangeran
Arya Kikis Sunan Wanaperih putranda sulung Pucuk Umun, Talaga melawan
Cirebon dan Demak yang telah menyerobot wilayah kedaulatan Kerajaan
Talaga.
Dimedan laga sekalipun
prajurit-prajurit kerajaan Talaga dibantu ketat oleh Puragabaya serta
pendekar dari padepokan-padepokan baik dari pesantren-pesantren Islam
maupun padepokan para pendekar dalam olah kanuragan namun jumlah dan
kekuatan alat prajurit jauh lebih kecil dari pada jumlah serta
pasukan penyerobot.
Para penyerobot itu dapat dilumpuhkan
dan semuanya dapat dienyahkan keluar daerah wilayah kerajaan Talaga.
Karena peristiwa itu Kanjeng Sunan Cirebon serta merta turun ke
Talaga yang disambut dengan hidmat dan hormat oleh pangeran Setya
Pati Arya Kikis Senapati kerajaan Talaga. Sang Sunan Wanaperih tidak
urung dengan mendapatkan penghormatan besar dari prajurit,
Puragabaya, Pendekar dan rakyat kerajaan Talaga serta Galuh
Singacala, Sesuai dengan kemupakatan pada musyawarah di Keraton
Ciburang yang diselenggarakan oleh para Raja dari Galuh beberapa
waktu yang silam, yang menyatakan bahwasanya Kanjeng Waliyullah
sendiri mengucapkan titahnya,'' mereka semua akan tumut kepada
Kanjeng Sulton Syareif Hidayatullah''. Ternyatalah kemupakatan
dikeraton Ciburang itu dengan takdir Allah''terkabul juga''. Pada
saat itulah Kanjeng Sinuhun Cirebon berkata '' bahwa peperangan itu
sungguh-sungguh ditakdirkan Allah, tetapi bukan merupakan peperangan
agama, sebab di Jawadwipa hanya pernah satu kali perang agama yaitu
antara Demak dan Majapahit''.
Terjadinya perang Talaga hanya karena
keliru dari pasukan Cirebon dan Demak, Kanjeng Sinuhun Cirebon
menyatakan harunya dengan menitahkan kepada Senopati Talaga, Pangeran
Arya Kikis untuk membacakan dua kalimah Syahadat, sesudah mengucapkan
Syahadat itu dihaturkanlah kepada Sang Baginda sepucuk senjata pusaka
kerajaan Talaga yang diberi nama tumbak sicuntang Barang. Kemudian
Sulton Cirebon melengkapkan titahnya yang berisi '' mengizinkan
kepada Pangeran Setyapati Sang Arya Kikis untuk bertafakur
dikampungya yaitu Leuweung Wana yang disebut selanjutnya Kampung
Wanaperih, dengan hasrat untuk mendalami ajaran agama Islam.
Sedangkan kerajaan Talaga tetap berdiri secara mandiri, namun
kepemimpinannya diayomi langsung oleh Kanjeng Sunan Cirebon.
Diceritakanlah Bahwa Kanjeng Arya
Kikis sekembalinya kekampung Wana (sekarang kampung Wanaperih di Desa
Kagok perwakilan Kecamatan Talaga di Banjaran Kabupaten Majalengka).
Kanjeng Arya Kikis bersemayam disana yang kemudian dianugerahi Allah
enam orang anak, Khususnya mengenai putera bungsu yang ditonjolkan
dalam kisah ini yang mempunyai nama kecil Raden Kanarun dan setelah
mendapatkan penobatan dari Kesultanan Cirebon memperolah gelar Raden
Ky Arya Wangsagoparana, yang bila diterjemahkan yang artinya'' Wangsa
= dinasti, Gopa = pemimpin, Rana = perang. Dan eyang inilah yang
dijuluki '' Eyang Nangkabeurit'' di Sagalaherang, tiada lain adalah
ramanda sembah Dalem Cikundul. Resume beberapa peristiwa dalam
kiprahnya Sembah Dalem Cikundul diperoleh dari tutungkusan dan cerita
rakyat.
a. Sembah
Dalem Cikundul adalah putera kedua dari Kanjeng Ky Arya
WangsagoparanaSagalaherang, dilahirkan kira-kira tahun 1603 M di
Cibodas desa Dayeuh Kolot, Kec Sagalaherang Kawadanan Sagalaherang
Kab Subang.
b. Namun
ketika dilahirkan adalah Pangeran Jayalalana, sejak usia 8 tahun
mendapat pendidikan dan gemblengan di Padepokan Islam Kesultanan
Cirebon dibawah Panembahan Ratu selaku pucuk pimpinannya.
c. Pangeran Jayalalana merupakan
seorang siswa paguron yang paling menonjol di antara para siswa
lainnya terutama di bidang keagamaan, keperwiraan, ilmu siasah, dan
ilmu kemasyarakatan. Tamat dari perguruan tinggi ini memperoleh
gelar'' Arya'' merupakan kerabat Keraton Kesultanan Cirebon dan
mendapat kedudukan ngabehi, selaku ponggawa Cirebon dengan nama
khusus Raden Ngabehi Jayasasana. Sejak usia 23 tahun mendapat
kepercayaan dan diangkat menjadi senapati Kesultanan Cirebon dengan
diberi gelar Arya Wiratanu. Dengan diserahi prajurit 300 umpi,
diserahi pula kepercayaan untuk mendirikan suatu negara di bekas
wilayah Pajajaran di aliran sungai Cianjur yang kosong ditinggalkan
oleh Pangeran Adipati Ewangga yang diangkat menjadi Adipati Kuningan.
Dengan tugas utama menangkal gangguan dari Banten dan Belanda yang
bermarkas di Tanjungpura Karawang.
d.Ketika Yan Pieter Zoon Coen mendarat
di Sunda Kelapa sehingga berhasil merebur Jayakarta (sekitar tahun
1619 M). Pangeran Jayalalana pernah berang kepada ponggawa
kesultanan, alasannya membiarkan orang asing itu mampu merebut
Jayakarta. Sang Pangeran bermohon kepada baginda Sinuhun Panembahan
Ratu untuk bersama-sama Puragabaya yang berada di Dayeh Kolot dan
Sagalaherang mengusir belanda dari Jayakarta. Dengan arief dan
bijaksana Kanjeng Panembahan Ratu menyatakan justru nanti pada
waktunya akan mendapat perintah melaksanakan tugas itu.
e. Pada usia kurang 22 tahun tanpa
diketahui sebelumnya Raden Ngabehi Jayasasana (Pangeran Jayalalana)
menikah dengan putri Jin bernama Nyi Tina Dewi Srina yang berasal
dari wujud tiga putri Jin, Putera dari Kiyai Zubaedi Raja Jin islam
di negeri Batu Agung Tengger Agung Sagalaherang. Tiga putri
masing-masing bernama Arum Wangi, Arum Endah, Arum Sari. Allah SWT
menganugrahi 2 orang putera dan 1 orang putri kepada Raden Ngabehi
Jayasasana :
- Pangeran Surya Kencana
- Nyai Sukaesih Carangcangkancana
- Raden Andaka Wirusajagat
f. Kira-kira tahun 1635 M Senopati Ky
Arya Wiratanu beserta 300 prajurit bawaannya yang dari Kesultanan
Cirebon, ketika maju bergerak ke barat sesampainya di Kampung
Simpeureum dipinggir sebelah timur kali Citarum didepan Muara Sungai
Cikundul melakukan ''tatarub'' (berkemah untuk menghadapi front)
selama 2 musim. Sementara itu Raden Arya Wiratanu menyusuri alur
sungai Citarum kehulu sampai Gunung Wayang. Digunung wayang inilah
kanjeng Senapati bertemu dengan Kiyai Gunung Wayang bernama Raden
Haji Abdul Syukur, cucunda Pangeran Girilaya dari Cirebon. Sang kiyai
dijuluki Sunan Pager Barang. Mendianglah yang mempunyai
catatan-catatan mengenai sejarah keadaan rakyat para leluhur, lokasi
satuan-satuan masyarakat tertentu, kondisi medan dan lain-lainnya
yang mengisi tatar sunda (sebelah barat Citarum).
g. Mulai tahun 1645 M Senapati Arya Wiratanu, tengah mengadakan orientasi dibekas wilayah Kerajaan Pajajaran Tengah dan Girang sampai perbatasan Sungai Cisadane dan menjorok kesungai Cibeurang di daerah Sajira Kab. Lebak. Kembalinya dengan melalui ubrug sungai Cicatih dan beristirahat beberapa lama di pinggir kali Cileuleuy hulu Cicatih di betulan Parung Kuda (Pangadegan sekarang). Kemudian memanjat gunung Sedah Kencana (gunung Gede) ke kaki gunung sebelah timur sehingga sampailah di padepokan/pesantren Kanjeng Ky Wangsamerta (Tarikolot dan Cinangsi).
h. Pada suatu waktu beberapa orang
adipati atau Raja bekas wilayah Pajajaran Girang dan Tengah yang
sekarang terlingkup menjadi daerah DT.II Cianjur dan Sukabumi. Mereka
berkumpul disebuah puncak Gunung yang biasa digunakan untuk tempat
bermusyawarah oleh para dipati sejak Pajajaran diganggu oleh musuh
dari luar. Tempat itu sendiri dikenal dengan nama Gunung Rompang,
dinamakan demikian karena senjata para prajurit Pajajaran sudah pada
rompang akibat selama 50 tahun digunakan untuk tarung melwawan pihak
musuh dari luar. Disanalah tempat yang tepat pada masa itu selain
dari tempat bermusyawarh, juga untuk memperbaiki senjata perang. Oleh
karena itu, tempat tersebut dinamakan Keramat Pasamoan, yang hadir
disana antara lain :
- Syekh Dalem Haji Sepuh Prabu Jampang Manggung yang berasal dari negeri Singacala (Galuh) dikenal pula di tanah Jampang dengan nama Syekh Haji Mulia, Haji Soleh dan Syekh Aulia Mantili.
- Kiyai Arya Wiratanu Cikundul, dikenal pula dengan julukan Pangeran Panji Natakusumah.
- Raden Sanghyang Panaitan, Raden Widaya, Pangeran Rangga Sinom di Sedang, Dipati Sukawayana.
- Dalem Adipati Lumaju Gede Nyilih Nagara dari Negeri Cimapag.
- Kanjeng Kiyai Wangsamerta dari Tarikolot Cikartanagara.
- Dalem Nalamerta dari Negeri Cipamingkis.
- Adipati Hyang Jaya Loka dari Negeri Cidamar.
- Hyang Jatuna dari Negeri Kandangwesi.
- Hyang Krutuwana dari Negeri Parakantilu.
- Hyang Manda Agung dari Negeri Sancang.
Adapun dari pertemuan tersebut adalah
untuk membicarakan keinginan para Raja itu untuk bekerja sama secara
erat satu sama lain, guna menegakan kemandirian negeri dari ancaman
yang datang dari pihak luar dan berpegang kepada palsapah Sapulidi
maka diperlukan adanya seorang pemimpin sebagai pemegang tangkainya
yang disebut Raja Gagang. Atas usul Prabu Jampang Manggung dengan
disetujui secara aklamsi oleh semua yang hadir, pilihan jatuh kepada
Kanjeng Ky Arya Wiratanu (dalem Cikundul). Hari itu yang memang sudah
diperhitungkan dan direncanakan sebelumnya, begitulah hari Kamis
menjelang besoknya untuk bersama-sama bagi yang datang dari negeri
jauh melakukan shalat Jum'at. Jadi hari Kamis itu pun adalah mangsa
''bulan purnama'' rabiul awal 1076 H, yang bertepatan dengan tanggal
24 September 1665 M. Maka para mendiang yang telah bermusyawarah
dengan mencapai satu kebulatan mufakatpada hari itu di Gunung
Rompang, resmilah berdiri negeri Cianjur yang mandiri dan berdaulat
sepenuhnya, tidak takluk baik kepada Belanda maupun kepada Mataram,
Banten, Cirebon dan kekuasaan lainnya, dengan Kanjeng Ky Arya
Wiratanu selaku raja Gagang.
Catatan :
Didalam buku De Priangan
jilid ke 2 halaman 130 dari Dagregister Belanda tanggal 14 Januari
1666 tercatat adanya laporan perjalanan Sersan Scipio yang menyatakan
diterimanya surat dari Raja Gagang yang menyatakan diri sebagai
seorang Raja Pegunungan, tidak berada dibawah Banten dan Cirebon,
tapi langsung dibawah''Tuhan YME''.
I. Pada pertengahan tahun 1677 M ketika
Sembah Dalem Cikundul yang pada saat itu berkedudukan sebagai Raja
Gunung, Raja Sunda/Raja Gagang berorientasi keperbatasan Kesultanan
Banten dan bekas wilayah Pajajaran, Pakuan dan tengah dikatakan orang
Cipanengah yang ditandai dengan kali Ciujung tentang diperolehnya
berita dari timur bahwa Sultan Mataram telah lolos dari Keraton
Kartasura dan diberitakan telah wafat di daerah Tegal, maka
terjadilah kekosongan pimpinan negara yang paling dihormati di daerah
Jawa. Keadaan dimanpaatkan oleh beberapa Raja bawahan yang ada di
Tatar Sunda untuk menyatakan diri merdeka, lepas dari kekuasaan
Mataram. Menyusul kemandirian dan kemerdekaan Cianjur (yang
dinyatakan pada tanggal 24 September 1665).
j. Dperkirakan pada akhir tahun 1677 M
penempatan angkatan kekuatan perang di Cianjur dengan 100 prajurit
ex-Cirebon pimpinan. Ngabehi Santaprana dipertemuan sungai Cijetis
dan Cibeureum (diperkirakan di Gunung Genggong) di atas Cugenang dan
dinyatakan sebagai kampung Cianjur yang munggaran yang disejajarkan
dengan sungai Cianjur. Sebenarnya disanalah tempat peristirahatan dan
penginapan para pedagang ternak beserta ternaknya dari Parahyangan,
Sumedang dan negeri Udug-Udug, sebelum melanjutkan ke Batavia.
k. Pada tahun 1684 M karena sembah
dalem Cikundul mengemban pancen untuk menjadi Raja Gagang kemudian
keamanan dalam negeri khusunya di wilayah Cianjur, Jampang dan
Cipanengah tidak terjadi hal-hal yang mengganggu serius kepada
keamanan, dan ketertiban dalam negri maka dianggap perlu adanya
pengetatan hubungan keluarga untuk bersama-sama membangun negri.
Disamping itu pula sehubungan dengan putera Sembah Dalem Cikundul
yang ke 4 yang bernama RadenWiramangala sudah berusia dalam saat
masanya'' Ngisat diri'' mulai usia 14 tahun dengan mendapat bimbingan
dari Raden Aria Yudamanggala adiknya. Sembah Dalem Cikundul yang
menjadi Dalem Sagalaherang. Adalah tidak menjadi halangan bila Raden
Wiramangala yang saat itu di pesantren Tarikolot untuk dinobatkan
menjadi pengganti ayahanda yaitu Sembah Dalem Cikundul. Kesimpulan
pada tahun 1684 M ada peristiwa yang penting yaitu :
- Negri Cianjur yang merdeka mandiri masih tetap dipimpin oleh Sembah Dalem Cikundul.
- Negri Cianjur sendiri sudah dicadangkan penggantinya yakni Raden Wiramangala yang kemudian disebut Raden Wiratanu Tarikolot.
- Pihak Belanda sendiri mengakui bahwa Kanjeng Wiratanu Cikundul menjadi Kiyai (dalam undangan dari gubernur Jendral Johannus Camphius tahun 1684 M)
- Hingga saat ini sikap negeri Belanda terhadap negeri Cianjur yang merdeka dan mandiri tetap menghormatinya akan kedaulatan negeri Cianjur. Hal ini terbukti juga adanya undangan dari Belanda di Batavia kepada Sembah Dalem Cikundul untuk menghadiri resepsi serah terima jabatan Gubernur Jenderal dari Cornelis Speelman kepada Johannus Camphius. Negeri Cianjur diwakili oleh putera Sembah Dalem Cianjur yang bernama Raden Natadimanggala/Arya Kidul yang disemayamkan di kharomah Pasir Jati Desa Rahong Cianjur. Dengan 4 kesimpulan itu kita akan mafhum adanya dampak positif bagi ketentraman kedaulatan negeri Cianjur, Sembah Dalem tetap tangguh dan tidak terlena karena keadaan yang tentran itu. Sembah Dalem Cikundul senantiasa waspada terhadap usaha-usaha Batavia untuk terus berupaya memancing kelemahan kedaulatan negeri Cianjur sejauh mungkin menghindari diri dari pertikaian yang terjadi di antara negeri-negeri Kesultanan Banten, Sumedang, Cirebon dan Mataram sekalipun sudah lumpuh.
l. Tahun 1691 M terjadilah kepindahan
Raden Arya Wira Manggala beserta ibunya dari Tarikolot ke Cibalagung
diamana ia mendirikan tempat tatarub. Sementara itu mulai saat itulah
Raden Wiramanggala secara resmi disebut sebagai Kanjeng Arya Wiratanu
Tarikolot. Dengan mewarisi julukan ayahandanya itu, dikatakan oleh
khalayak ramai bahwa Sembah Dalem Cikundul telah pulang
kerahmatullah, dan serta merta Cikundul hilang dari percaturan
sejarah. Selanutnya bahkan ternyata Kanjeng Arya Wiratanu Tarikolot
melanjutkan pindahnya menuju kampung Gelar yang letaknya ke hilir
dari Cianjur Munggaran/Ngabehi Santaprana. Sesampainya dikampung
Gelar ternyata telah banyak rakyat setempat telah menunggu dan
menyambutnya. Salah seorang tetua yang memimpin penyambutan yang
sekalipun sudah tua akan tetapi berperawakan tinggi besar dan kekar,
namanya disebut Aki Gede asal Panjalu merupakan ketua rombongan
''veteran perang Cianjur''ex prajurit cirebon bawahan Ngabehi
Santaprana alm. Aki Gedelah yang mula-mula membuka pesawahan disana,
sehingga nama desa itu hingga kini bernama Kelurahan Sawah Gede.
Menurut nama pembuka sawahnya dahulu kala 315 tahun yang lampau.
Raden Wiramanggala/Kanjeng Arya Wiratanu Tarikolot bersama hamba
rakyatnya segera saja mendirikan pemerintahan serta membangun sarana
dan prasarana kelengkapannya. Peristiwa ini diperkirakan terjadi
antara tanggal 7 Desember 1691 s/d 7 Desember 1692 M.
m. Ciri-ciri Sembah Dalem Cikundul
- Kata orang ketika sang bayi lahir diketahui oleh kakek dan nenek ahli Sunda Sanghyang dari negeri Talun (masa kini termasuk desa Ponggang Kec.Sagalaherang Kab.Subang) bahwa sang bayi jari telunjuk dan jari tengah di kedua belah tangannya itu sama tinggi dan sama besarnya. Menurut tekaan si Aki, sang bayi inilah besok lusanya nanti (sunda:''akhir baring supagi'') bakal menjadi Raja Sunda, pertanda Pangeran Panji Natakusumah.
- Pangeran Jayalalana sejak burey (anak sekitar 3 tahun) mempunyai kegemaran untuk naik ke bukit dan menghadap ke arah qiblat dengan seolah-olah merenung serta mata menerawang. Orang banyak mengetahui bahwa sang Pangeran ''burey''itu mempunyai indra yang tajam luar biasa terutama pendengaran, penglihatan, perabaan dan gaung suara yang berat sekalipun berisik tapi dapat didengar oleh orang yang dipanggil.
- Ketika sang bayi dilahirkan beberapa minggu sebelumnya dilangit sebelah tenggara telah muncul bintang kemukus yang berwarna kuning keemasan dengan ekornya menunjuk kearah kiblat. Kemudian begitu sang bayi lahir dengan selamat tanpa diperhatikan lagi bintang kemukus itupun lenyap dari pandangan.
- Nama Sagalaherang bukan berasa dari kata''Sagaraherang'' melainkan dari keadaan, begitu adzan berkumandang tanda tasyakur atas lahirnya seorang bayi yang kemudian diberi nama Pangeran Jayalalana. Terdengan oleh rakyat daerah Dayeuh Kolot dan Cibodas yang secara naluriah tahu sang bayi putranda yang kedua dari Kajeng Kiyai Aria Wangsagoparana telah lahir, sehingga karenanya serentak segala tabuh-tabuhan dimasjid, mushola, dangau-dangau, gardu-gardu kentongan-kentongan antara kampung-kampung ditalu dengan gemuruh, Pelita dipasang disegala tempat, jalan-jalan, bausan-bausan,tempat-tempat pemandian dan tempat-tempat orang berkumpul, jembatan-jembatan sampai ketempat pekuburan rakyat/desa diterangi dengan pelita-pelita, maka timbulah sebutan''Sagalaherang''. Artinya segala bercahaya terang benderang. Kemudian nama Sagalaherang itu bukan pula adanya''Sociteit''. Belanda di Tinaragung yang pesta Jubiilium (Hari lahirnya Ratu Wilhelmina tgl 31 Agustus) disemarakan dengan lampion. Agak mendingan kalau sebutan nama Sagalaherang ditunjang dengan sedikit arti penguakan sejarahnya yaitu : Sagalaherang mempunyai Tengger Agung yaitu Batu Agung Negaranya Kiyainya Zubaedi sang raja Jin Islam, dipakai tafakur Pangeran Panji Natakusumah putera Kanjeng Ky Arya Wangsagoparana yaitu eyang Nangkabeurit yang menggelarkan Adipati Tanudatar / berwujudlah raja sunda Raja Gunung Cianjur, setelah mangkat dikebumikan di Pasir Gajah Cikundul.