Raden Arya Wiratanudatar


Areal makam Raden Arya Wiratanudatar

Rd. Kj Arya Wiratanudatar bin Rd. Kj. Arya Wangsagoparana atau dalem Cikundul adalah bupati pertama Cianjur sekaligus seorang ulama penyebar agama Islam di periode 1677-1691, pemakamannya terletak di Kp.Cijagang Ds.Majalaya Kec.Cikalong Kulon Kab. Cianjur.

Makamnya terletak diatas bukit Cijagang Kp, Majalaya. Dikejauhanpun akan nampak terlihat makam seorang ulama besar ini dengan jelas, untuk menuju lokasi makam harus melewati anak tangga yang lumayan panjang menuju ke atas bukit Cijagang. Makam ini tidak pernah sepi dari para pengunjung yang datang dari berbagai luar daerah, yang hendak berziarah ataupun hanya sekedar ingin melihat makam seorang pahlawan dari Cianjur ini.


makam Raden Arya Wiratanudatar

Sejarah kehidupan :
Baik dalam ''tutungkusan'' (dongeng)sejarah maupun cerita rakyat mengenai keberadaannya leluhur kita. Untuk menentukan batas-batas titi mangsa dimulai dengan runtuhnya kerajaan talaga (Galuh) pada tahun 1529 M yang kemudian dibawah kekuasaan Sinuhun Cirebon Kanjeng Syarief Hidayatullah, yaitu cucunda dari Prabu Siliwangi yang telah mangkat pada dasawarsa kedua abad 16 M selanjutnya''srada'' di Rancamaya. Dinyatakan bahwa Hyang Maha Prabu Siliwangi telah lepas tanggung jawab.
Peristiwa ini besar sekali pengaruhnya kepada siasah kenegaraan Kesulatanan Cirebon, terutama yang menyangkut kepada Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Jatipurba Panatagama Auliya Sayyidina Rasulillahi SAW.

Tidak bisa dipungkiri bahwa semula Cirebon memang termasuk ke dalam wilyah kekuasaan Pajajaran yang ketika itu dibawah naungan kerajaan Pajajaran, Prabu Siliwangi kakek Kanjeng Sunan Gunung Jati Sendiri. Bisa saja satu pihak menyatakan bahwa pada tahun 1525 M Pajajaran telah bubar sebab pada ketika itu Cirebon telah menghentikan upeti kepada Pakuan, di lihat dari sudut akal yang sehat bisa saja peristiwa ini tindakan seorang cucu yang sama sekali tidak mengindahkan tatakrama kenegaraan yang layak terhadap kakenya sendiri, suatu tindakan pemberontakan atau pembangkangan kepada pucuk pimpinam kerajaan, namun dilain pihak tindakan tersebut perlu dilakukan demi kebutuhan adanya suatu negeri sendiri yang merdeka dan mandiri sebagai pangkal pijakan bagi penyebaran agama islam.

Sementara itu terjadilah peperangan hebat antara pasukan Talaga dipimpin langsung oleh Senopati Pangeran Arya Kikis Sunan Wanaperih putranda sulung Pucuk Umun, Talaga melawan Cirebon dan Demak yang telah menyerobot wilayah kedaulatan Kerajaan Talaga.

Dimedan laga sekalipun prajurit-prajurit kerajaan Talaga dibantu ketat oleh Puragabaya serta pendekar dari padepokan-padepokan baik dari pesantren-pesantren Islam maupun padepokan para pendekar dalam olah kanuragan namun jumlah dan kekuatan alat prajurit jauh lebih kecil dari pada jumlah serta pasukan penyerobot.

Para penyerobot itu dapat dilumpuhkan dan semuanya dapat dienyahkan keluar daerah wilayah kerajaan Talaga. Karena peristiwa itu Kanjeng Sunan Cirebon serta merta turun ke Talaga yang disambut dengan hidmat dan hormat oleh pangeran Setya Pati Arya Kikis Senapati kerajaan Talaga. Sang Sunan Wanaperih tidak urung dengan mendapatkan penghormatan besar dari prajurit, Puragabaya, Pendekar dan rakyat kerajaan Talaga serta Galuh Singacala, Sesuai dengan kemupakatan pada musyawarah di Keraton Ciburang yang diselenggarakan oleh para Raja dari Galuh beberapa waktu yang silam, yang menyatakan bahwasanya Kanjeng Waliyullah sendiri mengucapkan titahnya,'' mereka semua akan tumut kepada Kanjeng Sulton Syareif Hidayatullah''. Ternyatalah kemupakatan dikeraton Ciburang itu dengan takdir Allah''terkabul juga''. Pada saat itulah Kanjeng Sinuhun Cirebon berkata '' bahwa peperangan itu sungguh-sungguh ditakdirkan Allah, tetapi bukan merupakan peperangan agama, sebab di Jawadwipa hanya pernah satu kali perang agama yaitu antara Demak dan Majapahit''.

Terjadinya perang Talaga hanya karena keliru dari pasukan Cirebon dan Demak, Kanjeng Sinuhun Cirebon menyatakan harunya dengan menitahkan kepada Senopati Talaga, Pangeran Arya Kikis untuk membacakan dua kalimah Syahadat, sesudah mengucapkan Syahadat itu dihaturkanlah kepada Sang Baginda sepucuk senjata pusaka kerajaan Talaga yang diberi nama tumbak sicuntang Barang. Kemudian Sulton Cirebon melengkapkan titahnya yang berisi '' mengizinkan kepada Pangeran Setyapati Sang Arya Kikis untuk bertafakur dikampungya yaitu Leuweung Wana yang disebut selanjutnya Kampung Wanaperih, dengan hasrat untuk mendalami ajaran agama Islam. Sedangkan kerajaan Talaga tetap berdiri secara mandiri, namun kepemimpinannya diayomi langsung oleh Kanjeng Sunan Cirebon.

Diceritakanlah Bahwa Kanjeng Arya Kikis sekembalinya kekampung Wana (sekarang kampung Wanaperih di Desa Kagok perwakilan Kecamatan Talaga di Banjaran Kabupaten Majalengka). Kanjeng Arya Kikis bersemayam disana yang kemudian dianugerahi Allah enam orang anak, Khususnya mengenai putera bungsu yang ditonjolkan dalam kisah ini yang mempunyai nama kecil Raden Kanarun dan setelah mendapatkan penobatan dari Kesultanan Cirebon memperolah gelar Raden Ky Arya Wangsagoparana, yang bila diterjemahkan yang artinya'' Wangsa = dinasti, Gopa = pemimpin, Rana = perang. Dan eyang inilah yang dijuluki '' Eyang Nangkabeurit'' di Sagalaherang, tiada lain adalah ramanda sembah Dalem Cikundul. Resume beberapa peristiwa dalam kiprahnya Sembah Dalem Cikundul diperoleh dari tutungkusan dan cerita rakyat.

a. Sembah Dalem Cikundul adalah putera kedua dari Kanjeng Ky Arya WangsagoparanaSagalaherang, dilahirkan kira-kira tahun 1603 M di Cibodas desa Dayeuh Kolot, Kec Sagalaherang Kawadanan Sagalaherang Kab Subang.

b. Namun ketika dilahirkan adalah Pangeran Jayalalana, sejak usia 8 tahun mendapat pendidikan dan gemblengan di Padepokan Islam Kesultanan Cirebon dibawah Panembahan Ratu selaku pucuk pimpinannya.

c. Pangeran Jayalalana merupakan seorang siswa paguron yang paling menonjol di antara para siswa lainnya terutama di bidang keagamaan, keperwiraan, ilmu siasah, dan ilmu kemasyarakatan. Tamat dari perguruan tinggi ini memperoleh gelar'' Arya'' merupakan kerabat Keraton Kesultanan Cirebon dan mendapat kedudukan ngabehi, selaku ponggawa Cirebon dengan nama khusus Raden Ngabehi Jayasasana. Sejak usia 23 tahun mendapat kepercayaan dan diangkat menjadi senapati Kesultanan Cirebon dengan diberi gelar Arya Wiratanu. Dengan diserahi prajurit 300 umpi, diserahi pula kepercayaan untuk mendirikan suatu negara di bekas wilayah Pajajaran di aliran sungai Cianjur yang kosong ditinggalkan oleh Pangeran Adipati Ewangga yang diangkat menjadi Adipati Kuningan. Dengan tugas utama menangkal gangguan dari Banten dan Belanda yang bermarkas di Tanjungpura Karawang.
d.Ketika Yan Pieter Zoon Coen mendarat di Sunda Kelapa sehingga berhasil merebur Jayakarta (sekitar tahun 1619 M). Pangeran Jayalalana pernah berang kepada ponggawa kesultanan, alasannya membiarkan orang asing itu mampu merebut Jayakarta. Sang Pangeran bermohon kepada baginda Sinuhun Panembahan Ratu untuk bersama-sama Puragabaya yang berada di Dayeh Kolot dan Sagalaherang mengusir belanda dari Jayakarta. Dengan arief dan bijaksana Kanjeng Panembahan Ratu menyatakan justru nanti pada waktunya akan mendapat perintah melaksanakan tugas itu.

e. Pada usia kurang 22 tahun tanpa diketahui sebelumnya Raden Ngabehi Jayasasana (Pangeran Jayalalana) menikah dengan putri Jin bernama Nyi Tina Dewi Srina yang berasal dari wujud tiga putri Jin, Putera dari Kiyai Zubaedi Raja Jin islam di negeri Batu Agung Tengger Agung Sagalaherang. Tiga putri masing-masing bernama Arum Wangi, Arum Endah, Arum Sari. Allah SWT menganugrahi 2 orang putera dan 1 orang putri kepada Raden Ngabehi Jayasasana :
  1. Pangeran Surya Kencana
  2. Nyai Sukaesih Carangcangkancana
  3. Raden Andaka Wirusajagat

f. Kira-kira tahun 1635 M Senopati Ky Arya Wiratanu beserta 300 prajurit bawaannya yang dari Kesultanan Cirebon, ketika maju bergerak ke barat sesampainya di Kampung Simpeureum dipinggir sebelah timur kali Citarum didepan Muara Sungai Cikundul melakukan ''tatarub'' (berkemah untuk menghadapi front) selama 2 musim. Sementara itu Raden Arya Wiratanu menyusuri alur sungai Citarum kehulu sampai Gunung Wayang. Digunung wayang inilah kanjeng Senapati bertemu dengan Kiyai Gunung Wayang bernama Raden Haji Abdul Syukur, cucunda Pangeran Girilaya dari Cirebon. Sang kiyai dijuluki Sunan Pager Barang. Mendianglah yang mempunyai catatan-catatan mengenai sejarah keadaan rakyat para leluhur, lokasi satuan-satuan masyarakat tertentu, kondisi medan dan lain-lainnya yang mengisi tatar sunda (sebelah barat Citarum).

g. Mulai tahun 1645 M Senapati Arya Wiratanu, tengah mengadakan orientasi dibekas wilayah Kerajaan Pajajaran Tengah dan Girang sampai perbatasan Sungai Cisadane dan menjorok kesungai Cibeurang di daerah Sajira Kab. Lebak. Kembalinya dengan melalui ubrug sungai Cicatih dan beristirahat beberapa lama di pinggir kali Cileuleuy hulu Cicatih di betulan Parung Kuda (Pangadegan sekarang). Kemudian memanjat gunung Sedah Kencana (gunung Gede) ke kaki gunung sebelah timur sehingga sampailah di padepokan/pesantren Kanjeng Ky Wangsamerta (Tarikolot dan Cinangsi).

h. Pada suatu waktu beberapa orang adipati atau Raja bekas wilayah Pajajaran Girang dan Tengah yang sekarang terlingkup menjadi daerah DT.II Cianjur dan Sukabumi. Mereka berkumpul disebuah puncak Gunung yang biasa digunakan untuk tempat bermusyawarah oleh para dipati sejak Pajajaran diganggu oleh musuh dari luar. Tempat itu sendiri dikenal dengan nama Gunung Rompang, dinamakan demikian karena senjata para prajurit Pajajaran sudah pada rompang akibat selama 50 tahun digunakan untuk tarung melwawan pihak musuh dari luar. Disanalah tempat yang tepat pada masa itu selain dari tempat bermusyawarh, juga untuk memperbaiki senjata perang. Oleh karena itu, tempat tersebut dinamakan Keramat Pasamoan, yang hadir disana antara lain :

  1. Syekh Dalem Haji Sepuh Prabu Jampang Manggung yang berasal dari negeri Singacala (Galuh) dikenal pula di tanah Jampang dengan nama Syekh Haji Mulia, Haji Soleh dan Syekh Aulia Mantili.
  2. Kiyai Arya Wiratanu Cikundul, dikenal pula dengan julukan Pangeran Panji Natakusumah.
  3. Raden Sanghyang Panaitan, Raden Widaya, Pangeran Rangga Sinom di Sedang, Dipati Sukawayana.
  4. Dalem Adipati Lumaju Gede Nyilih Nagara dari Negeri Cimapag.
  5. Kanjeng Kiyai Wangsamerta dari Tarikolot Cikartanagara.
  6. Dalem Nalamerta dari Negeri Cipamingkis.
  7. Adipati Hyang Jaya Loka dari Negeri Cidamar.
  8. Hyang Jatuna dari Negeri Kandangwesi.
  9. Hyang Krutuwana dari Negeri Parakantilu.
  10. Hyang Manda Agung dari Negeri Sancang.

Adapun dari pertemuan tersebut adalah untuk membicarakan keinginan para Raja itu untuk bekerja sama secara erat satu sama lain, guna menegakan kemandirian negeri dari ancaman yang datang dari pihak luar dan berpegang kepada palsapah Sapulidi maka diperlukan adanya seorang pemimpin sebagai pemegang tangkainya yang disebut Raja Gagang. Atas usul Prabu Jampang Manggung dengan disetujui secara aklamsi oleh semua yang hadir, pilihan jatuh kepada Kanjeng Ky Arya Wiratanu (dalem Cikundul). Hari itu yang memang sudah diperhitungkan dan direncanakan sebelumnya, begitulah hari Kamis menjelang besoknya untuk bersama-sama bagi yang datang dari negeri jauh melakukan shalat Jum'at. Jadi hari Kamis itu pun adalah mangsa ''bulan purnama'' rabiul awal 1076 H, yang bertepatan dengan tanggal 24 September 1665 M. Maka para mendiang yang telah bermusyawarah dengan mencapai satu kebulatan mufakatpada hari itu di Gunung Rompang, resmilah berdiri negeri Cianjur yang mandiri dan berdaulat sepenuhnya, tidak takluk baik kepada Belanda maupun kepada Mataram, Banten, Cirebon dan kekuasaan lainnya, dengan Kanjeng Ky Arya Wiratanu selaku raja Gagang.

Catatan :
Didalam buku De Priangan jilid ke 2 halaman 130 dari Dagregister Belanda tanggal 14 Januari 1666 tercatat adanya laporan perjalanan Sersan Scipio yang menyatakan diterimanya surat dari Raja Gagang yang menyatakan diri sebagai seorang Raja Pegunungan, tidak berada dibawah Banten dan Cirebon, tapi langsung dibawah''Tuhan YME''.

I. Pada pertengahan tahun 1677 M ketika Sembah Dalem Cikundul yang pada saat itu berkedudukan sebagai Raja Gunung, Raja Sunda/Raja Gagang berorientasi keperbatasan Kesultanan Banten dan bekas wilayah Pajajaran, Pakuan dan tengah dikatakan orang Cipanengah yang ditandai dengan kali Ciujung tentang diperolehnya berita dari timur bahwa Sultan Mataram telah lolos dari Keraton Kartasura dan diberitakan telah wafat di daerah Tegal, maka terjadilah kekosongan pimpinan negara yang paling dihormati di daerah Jawa. Keadaan dimanpaatkan oleh beberapa Raja bawahan yang ada di Tatar Sunda untuk menyatakan diri merdeka, lepas dari kekuasaan Mataram. Menyusul kemandirian dan kemerdekaan Cianjur (yang dinyatakan pada tanggal 24 September 1665).

j. Dperkirakan pada akhir tahun 1677 M penempatan angkatan kekuatan perang di Cianjur dengan 100 prajurit ex-Cirebon pimpinan. Ngabehi Santaprana dipertemuan sungai Cijetis dan Cibeureum (diperkirakan di Gunung Genggong) di atas Cugenang dan dinyatakan sebagai kampung Cianjur yang munggaran yang disejajarkan dengan sungai Cianjur. Sebenarnya disanalah tempat peristirahatan dan penginapan para pedagang ternak beserta ternaknya dari Parahyangan, Sumedang dan negeri Udug-Udug, sebelum melanjutkan ke Batavia.

k. Pada tahun 1684 M karena sembah dalem Cikundul mengemban pancen untuk menjadi Raja Gagang kemudian keamanan dalam negeri khusunya di wilayah Cianjur, Jampang dan Cipanengah tidak terjadi hal-hal yang mengganggu serius kepada keamanan, dan ketertiban dalam negri maka dianggap perlu adanya pengetatan hubungan keluarga untuk bersama-sama membangun negri. Disamping itu pula sehubungan dengan putera Sembah Dalem Cikundul yang ke 4 yang bernama RadenWiramangala sudah berusia dalam saat masanya'' Ngisat diri'' mulai usia 14 tahun dengan mendapat bimbingan dari Raden Aria Yudamanggala adiknya. Sembah Dalem Cikundul yang menjadi Dalem Sagalaherang. Adalah tidak menjadi halangan bila Raden Wiramangala yang saat itu di pesantren Tarikolot untuk dinobatkan menjadi pengganti ayahanda yaitu Sembah Dalem Cikundul. Kesimpulan pada tahun 1684 M ada peristiwa yang penting yaitu :

  1. Negri Cianjur yang merdeka mandiri masih tetap dipimpin oleh Sembah Dalem Cikundul.
  2. Negri Cianjur sendiri sudah dicadangkan penggantinya yakni Raden Wiramangala yang kemudian disebut Raden Wiratanu Tarikolot.
  3. Pihak Belanda sendiri mengakui bahwa Kanjeng Wiratanu Cikundul menjadi Kiyai (dalam undangan dari gubernur Jendral Johannus Camphius tahun 1684 M)
  4. Hingga saat ini sikap negeri Belanda terhadap negeri Cianjur yang merdeka dan mandiri tetap menghormatinya akan kedaulatan negeri Cianjur. Hal ini terbukti juga adanya undangan dari Belanda di Batavia kepada Sembah Dalem Cikundul untuk menghadiri resepsi serah terima jabatan Gubernur Jenderal dari Cornelis Speelman kepada Johannus Camphius. Negeri Cianjur diwakili oleh putera Sembah Dalem Cianjur yang bernama Raden Natadimanggala/Arya Kidul yang disemayamkan di kharomah Pasir Jati Desa Rahong Cianjur. Dengan 4 kesimpulan itu kita akan mafhum adanya dampak positif bagi ketentraman kedaulatan negeri Cianjur, Sembah Dalem tetap tangguh dan tidak terlena karena keadaan yang tentran itu. Sembah Dalem Cikundul senantiasa waspada terhadap usaha-usaha Batavia untuk terus berupaya memancing kelemahan kedaulatan negeri Cianjur sejauh mungkin menghindari diri dari pertikaian yang terjadi di antara negeri-negeri Kesultanan Banten, Sumedang, Cirebon dan Mataram sekalipun sudah lumpuh.

l. Tahun 1691 M terjadilah kepindahan Raden Arya Wira Manggala beserta ibunya dari Tarikolot ke Cibalagung diamana ia mendirikan tempat tatarub. Sementara itu mulai saat itulah Raden Wiramanggala secara resmi disebut sebagai Kanjeng Arya Wiratanu Tarikolot. Dengan mewarisi julukan ayahandanya itu, dikatakan oleh khalayak ramai bahwa Sembah Dalem Cikundul telah pulang kerahmatullah, dan serta merta Cikundul hilang dari percaturan sejarah. Selanutnya bahkan ternyata Kanjeng Arya Wiratanu Tarikolot melanjutkan pindahnya menuju kampung Gelar yang letaknya ke hilir dari Cianjur Munggaran/Ngabehi Santaprana. Sesampainya dikampung Gelar ternyata telah banyak rakyat setempat telah menunggu dan menyambutnya. Salah seorang tetua yang memimpin penyambutan yang sekalipun sudah tua akan tetapi berperawakan tinggi besar dan kekar, namanya disebut Aki Gede asal Panjalu merupakan ketua rombongan ''veteran perang Cianjur''ex prajurit cirebon bawahan Ngabehi Santaprana alm. Aki Gedelah yang mula-mula membuka pesawahan disana, sehingga nama desa itu hingga kini bernama Kelurahan Sawah Gede. Menurut nama pembuka sawahnya dahulu kala 315 tahun yang lampau. Raden Wiramanggala/Kanjeng Arya Wiratanu Tarikolot bersama hamba rakyatnya segera saja mendirikan pemerintahan serta membangun sarana dan prasarana kelengkapannya. Peristiwa ini diperkirakan terjadi antara tanggal 7 Desember 1691 s/d 7 Desember 1692 M.

m. Ciri-ciri Sembah Dalem Cikundul

  1. Kata orang ketika sang bayi lahir diketahui oleh kakek dan nenek ahli Sunda Sanghyang dari negeri Talun (masa kini termasuk desa Ponggang Kec.Sagalaherang Kab.Subang) bahwa sang bayi jari telunjuk dan jari tengah di kedua belah tangannya itu sama tinggi dan sama besarnya. Menurut tekaan si Aki, sang bayi inilah besok lusanya nanti (sunda:''akhir baring supagi'') bakal menjadi Raja Sunda, pertanda Pangeran Panji Natakusumah.
  2. Pangeran Jayalalana sejak burey (anak sekitar 3 tahun) mempunyai kegemaran untuk naik ke bukit dan menghadap ke arah qiblat dengan seolah-olah merenung serta mata menerawang. Orang banyak mengetahui bahwa sang Pangeran ''burey''itu mempunyai indra yang tajam luar biasa terutama pendengaran, penglihatan, perabaan dan gaung suara yang berat sekalipun berisik tapi dapat didengar oleh orang yang dipanggil.
  3. Ketika sang bayi dilahirkan beberapa minggu sebelumnya dilangit sebelah tenggara telah muncul bintang kemukus yang berwarna kuning keemasan dengan ekornya menunjuk kearah kiblat. Kemudian begitu sang bayi lahir dengan selamat tanpa diperhatikan lagi bintang kemukus itupun lenyap dari pandangan.
  4. Nama Sagalaherang bukan berasa dari kata''Sagaraherang'' melainkan dari keadaan, begitu adzan berkumandang tanda tasyakur atas lahirnya seorang bayi yang kemudian diberi nama Pangeran Jayalalana. Terdengan oleh rakyat daerah Dayeuh Kolot dan Cibodas yang secara naluriah tahu sang bayi putranda yang kedua dari Kajeng Kiyai Aria Wangsagoparana telah lahir, sehingga karenanya serentak segala tabuh-tabuhan dimasjid, mushola, dangau-dangau, gardu-gardu kentongan-kentongan antara kampung-kampung ditalu dengan gemuruh, Pelita dipasang disegala tempat, jalan-jalan, bausan-bausan,tempat-tempat pemandian dan tempat-tempat orang berkumpul, jembatan-jembatan sampai ketempat pekuburan rakyat/desa diterangi dengan pelita-pelita, maka timbulah sebutan''Sagalaherang''. Artinya segala bercahaya terang benderang. Kemudian nama Sagalaherang itu bukan pula adanya''Sociteit''. Belanda di Tinaragung yang pesta Jubiilium (Hari lahirnya Ratu Wilhelmina tgl 31 Agustus) disemarakan dengan lampion. Agak mendingan kalau sebutan nama Sagalaherang ditunjang dengan sedikit arti penguakan sejarahnya yaitu : Sagalaherang mempunyai Tengger Agung yaitu Batu Agung Negaranya Kiyainya Zubaedi sang raja Jin Islam, dipakai tafakur Pangeran Panji Natakusumah putera Kanjeng Ky Arya Wangsagoparana yaitu eyang Nangkabeurit yang menggelarkan Adipati Tanudatar / berwujudlah raja sunda Raja Gunung Cianjur, setelah mangkat dikebumikan di Pasir Gajah Cikundul.

Masjid Kubah Emas

Masjid Dian Al-Mahri atau lebih dikenal dengan Masjid Kubah Emas adalah icon dari kota Depok yang berada di Jalan Raya Meruyung, Limo, Depok Kecamatan Limo Depok. Masjid ini selain menjadi tempat beribadah umat muslim sehari-hari, komplek kawasan masjid ini selalu ramai di kunjungi sebagai liburan wisata keluarga. Yang membuat penasaran pengunjung adalah kubahnya yang terbuat dari emas 18 dan 24 karat, sehingga masjid ini selalu menjadi persinggahan perjalanan wisata atau hanya sekedar istirahat dan berfoto-foto.

Masjid ini dibangun oleh Hj. Dian Djuriah Maimun Al Rasyid, pengusaha asal daerah Banten. Pembangunan masjid pada tahun 2001 dan rampung sekitar tahun 2006, luas areal kawasan masjid 50 hektar dan dapat menampung sekitar 20.000 orang, sedangkan masjid ini disebut juga masjid termegah se Asia tenggara.


Haul Cilongok

Tangerang 9 Pebruari 2014 yang jatuh pada hari minggu, Kp Cilongok Ds Sukamantri Kec Pasa Kemis dipadati oleh ribuan jamaah dari pelosok berbagai daerah, diantaranya dari pulau Jawa dan sumatera. Berbagai tokoh ulama besar indonesia, politisi, Bupati, Camat, dan instansi pemerintahan lainya ikut hadir dalam acara djikir bersama, yaitu dalam rangka memperingati haul tuan Syekh Abdul Qodir Al-Zaelany yang ke 55.

Tepatnya acara di pesantren Al-Istiqlaliyyah Kp.Cilongok Ds Sukamantri yang di pimpin oleh ulama besar tangerang yang salafi yaitu KH Uci Turtusi penerus dari KH Dimyati ayahandanya, sekaligus pendiri pesantren Al-Istiqlaliyyah. Pesantren ini didirikan pada tahun 1957 oleh KH Dimyati (almarhum)

Acara haul Syekh Abdul Qodir Al-Zaelani yang digelar setiap setahun sekali selalu dipadati ribuan jamaah, bahkan Mantan presiden Gusdur selalu aktif mengikuti haul di Cilongok semasa hidupnya. Habib Lutfi ketua torekat dari Pekalongan, Ulama dari Mesir, ulama besar lainnya dan bupati Tangerang, duduk bersama-sama dalam djikir haul tuan syekh.

KH Uci Turtusi adalah tokoh ulama kharismatik didaerah Tangerang, beliau adalah putera dari alm KH. Dimyati, yang makam ayahnya disebelah selatan mesjid Cilongok. Makam ayahnya selalu ramai dikunjungi oleh para peziarah yang datang dari berbagai daerah.

Untuk acara pengajian rutin yaitu setiap hari minggu pagi sampai dengan selesai, acara pengajian mingguan selalu ramai di ikuti oleh jamaah dari berbagai daerah sehingga para jamaah memadati kampung Cilongok tepat di Pesantren Al-Istiqlaliyyah.